Ahh
debu-debu ini sangat mengganggu, benar-benar ciri khas gudang! Uh
andai bukan demi tugas dari atasanku itu, mana mau aku membongkar
gudang berdebu seperti ini. Bagaimanapun juga sudah tugasku sebagai
seorang wartawan sebuah majalah di Jakarta yang pesaingnya seabreg
itu, harus bisa mencari sesuatu yang baru dan tentunya memiliki daya
jual tinggi di masyarakat.
Seminggu
yang lalu, bosku menyuruh mencari ide baru yang segar. Jangan
tentang gossip para artis, jangan tentang politik, jangan tentang
kemacetan ibukota, jangan tentang para koruptor, dan
masih banyak lagi jangannya
itu. Kalau mencari di Jakarta memangnya ada hal selain itu yang bisa
dijadikan topic? Aku kira tidak! Barangkali hanya kemacetan yang
sudah biasa.
Akhirnya
aku menemukannya juga, buku sejarah tua peninggalan kakekku dulu.
Memang betul itu peninggalan dulu, bahasanya saja masih memakai
bahasa melayu. Minggu ini aku akan berangkat ke daerah Sulawesi
Tengah tepatnya ke pulau Togean.
Menurut
informasi yang aku dapat, di sana merupakan kepulauan yang indahnya
tak kalah dengan Wakatobi dan Takabonerate. Di sana juga terdapat
suku asli pulau Togean, suku Bajoe (suku laut). Begitulah kira-kira
yang aku dengar. Tetapi tidak dengan buku ini, ada hal yang tak
diketahui masyarakat tertulis di buku ini. Rahasia yang akan
kubongkar pada dunia. Di sini dikatakan puluhan orang suku Bajoe
tiba-tiba menghilang. Hilangnya mereka masih menjadi misteri, di buku
ini dijelaskan kalau mereka terkena kutukan dari penjaga laut.
**
“Ra
semuanya sudah oke, tinggal nungguin si Rizki” ucap Fadli
“ Oke
kalau gitu kita bisa istirahat dulu, sambil muas-muasin megang
gadget” jawabku beralih focus ke gadget
“ Muas-muasin
gimana maksud loe?” Tanya Fadli heran
“ Loe
belom tahu ya, kalau di sana itu area yang terjangkau layanan sinyal
datanya masih minim” terangku lagi
“ Masa?
Mampus dong gue” jawabnya putus asa.
Setelah
beberapa menit menunggu, Rizki pun datang. Sekarang kami akan
bertolak dari bandara Soekarno Hatta Cengkareng menuju bandara
Mutiara di Palu. Perjalanan yang ditempuh sekitar tiga jam. Setelah
sampai di Palu kami akan menuju ke Ampana dan melanjutkan lagi ke
pulau Togean.
**
Selama
beberapa hari melakukan kunjungan, kami tak mendapatkan hal yang
menarik. Hanya serangkaian kegiatan biasa
seperti diving. Hari berikutnya kami memutuskan berkunjung ke pusat
pemukiman suku Bajoe yang bertempat di kelurahan Bajoe, kabupaten
Bone. Menurut para tetua suku Bajoe yang tinggal di Kabalutan,
kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sudah di tempati oleh suku Bajoe
sejak ratusan tahun silam.
Kami
banyak berharap mendapat petunjuk yang menarik. Dan benar saja di
beberapa rumah asli suku Bajoe yang terbuat dari kayu dan tanpa
menggunakan paku itu, kami mendapat kesamaan berupa tanda mirip
kerangka ikan, yang lebih aneh lagi, setiap kerangka seolah saling
menyambung menuju ke suatu tempat.
Setelah
bertanya ke sana ke mari, kami mengetahui sesuatu yang sangat luar
biasa. Ternyata masyarakat suku Bajoe pun pernah menyelidiki tanda
itu. Tanda itu mengarahkan mereka ke hutan mangrove
pesisir pantai yang mengarah langsung ke Coral
Triangle. Salah
satu karangnya merupakan karang atol yang di tengah-tengahnya
terdapat danau. kami bertiga memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh
lagi. Akan tetapi, para tetua di sana melarang.
“ Kami
peringatkan, sebaiknya kalian jangan kesana. Kalian bisa mendapat
kutukan laut” ucap seorang tetua
“ Baiklah,
kami hanya akan melihat-lihat” jawabku berbohong.
**
Pagi-pagi
sekali, aku, Fadli dan Rizki sudah bersiap melakukan perjalanan. Yups
perjalanan ke dasar laut. Kami membagi-bagi tugas, aku dan Rizki akan
menyelam, sedangkan Fadli memantau monitor yang tersambung langsung
dengan kamera yang dibawa Rizki, sekaligus memastikan tidak ada yang
mengganggu perjalanan kami.
“Woaaaaaw….gila
Ra, indah banget “ begitulah kira-kira yang Rizki ucapkan, gak tau
udah ke berapa kali dia ngobrol gitu. Tiap ada ikan dia pasti
ngacungin dua jempolnya.
Setelah
menyelam di antara karang Atol, aku melihat sebuah bentangan luas
gelap yang kemungkinan itu adalah sisi lain dari danaunya, awalnya
Rizki gak mau ke sana, tetapi setelah aku bujuk, akhirnya dia luluh
juga. Aku memimpin penyelaman, berenang diantara karang-karang yang
semakin dalam semakin terlihat seperti benteng.
“ Aaaaahhh….Taraaaa”
“ Ada
apa? Ucapku kaget bercampur panic melihat Rizki panic
Ternyata
kakinya tersangkut di karang, tapi tunggu ada yang aneh dengan karang
itu, kaki Rizki tersangkut karena ada aliran air yang masuk. Setelah
dengan susah payah mencari, kami menemukan celah yang lebih besar.
Dan betapa terkejutnya aku melihat puluhan, bahkan ratusan bangkai
kapal, pesawat dan benda lainnya di balik dinding karang ini.
Terlebih
lagi aku kaget melihat tulisan di badan pesawat “
Skuador Flight 99”
itu adalah salah satu pesawat yang dinyatakan hilang di wilayah
Segitiga Bermuda.
Perasaanku
langsung tak enak, aku memutuskan untuk mengajak Rizki kembali ke
permukaan.Tetapi sepertinya semuanya sudah terlambat, saat aku
berbalik aku tak membatu, tidak percaya dengan apa yang kulihat,
sudah tak ada Rizki, hanya tinggal kepala dan darahnya yang tersisa.
Aku mencoba menghubungi Fadli, namun tak ada jawaban. Aku terus
mencoba menghubunginya sambil berenang kembali ke permukan, lalu
sesuatu menabrakku, menggores bahuku. Panic dan takut, sekuat tenaga
aku terus berenang, tapi sesuatu menghentikanku atau lebih tepatnya
membuatku sadar, aku sudah tak punya harapan, terlebih dengan apa
yang kulihat di hadapanku. Saat itulah aku menyesal dan yakin bahwa
apa yang dikatakan tetua benar. Tentang dia,
tentang
mereka
kaum yang tak boleh terlihat. Sosok seperti manusia, dengan cakar,
ekor, sirip dan tanpa mata.
Berita
Harian Sulawesi:
Sabtu,
23 April telah ditemukan mayat seorang pemuda di hutan mangrove.
Belum
diketahui penyebab kematiannya.